Daán yahya/Republika

Seiring dengan ekspansi Islam sejak zaman Empat Khalifah, budaya-budaya luar pun diterima Muslimin.

Oleh: Hasanul Rizqa

Wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak lantas meredupkan syiar Islam. Beberapa dekade sesudah Rasulullah SAW tutup usia, daulah terus berekspansi hingga ke luar Jazirah Arab. Dalam periode Khulafaur Rasyidin, kaum Muslimin berhasil menaklukkan Mesir, Syam, Irak, dan bahkan pusat Imperium Sasaniyah.

 

Perluasan wilayah itu menyebabkan umat berinteraksi lebih intens dengan peradaban-peradaban non-Arab yang telah lama berkembang sejak era pra-Islam. Di antaranya adalah Yunani, Persia, India, dan bahkan Cina. Dari segenap peradaban tua itu, Muslimin—khususnya kalangan terpelajar—melakukan semacam eklektisisme, yakni memilah dan memilih gagasan-gagasan atau tradisi-tradisi dari luar yang dapat diselaraskan dengan pandangan-dunia Islam.

 

Islam tidak mengajarkan penyingkiran atau pemusnahan apa-apa yang telah dan sedang bertumbuh di tengah suatu masyarakat, selama hal itu tidak membahayakan kemaslahatan bersama. Malahan, agama ini menegaskan bahwa di antara kehendak-kehendak Allah adalah keberagaman identitas budaya dan bangsa di dunia. Sunatullah itu pun bertujuan supaya umat manusia saling mengenal satu sama lain (lihat QS al-Hujurat: 13).

 

Sikap eklektik tersebut mengandaikan adanya pemikiran yang terbuka (open-minded) dari umat Islam. Keterbukaan itu tidak berarti sebuah sinkretisme, apalagi dalam hal akidah. Yang terjadi adalah, para cerdik cendekia Muslimin mengambil posisi apresiatif terhadap khazanah peradaban-peradaban luar Jazirah Arab yang dijumpainya di manapun berada.

 

Tidak sekadar memilah dan memilih, mereka juga melakukan proses kreatif-dialektis saat menerima pengetahuan dan tradisi yang disediakan pelbagai peradaban luar. Salah satu yang dipelajari para sarjana Muslim pada masa itu adalah kekayaan kebudayaan Yunani Kuno.

DOK  WIKIPEDIA

Yunani Kuno adalah bangsa yang masyhur karena memiliki pemikir-pemikir besar dalam sejarah, seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka pada masa itu mengerahkan kemampuan nalar sebebas-bebasnya dan sedalam-dalamnya, tanpa tekanan eksternal apa pun, khususnya mengenai tiga pokok. Ketiganya adalah hakikat (ontologi), muasal, dan tujuan (teleologi) sesuatu—semisal kehidupan. Pembicaraan tentang semua itu bermuara pada disiplin filsafat.

 

Filsafat tumbuh pertama kalinya di Yunani Kuno. Para filsuf setempat menujukan perhatian mereka terutama pada alam yang ada. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan lebih menukik lagi pada sebab dan bagaimana keadaan ataupun perubahan alam itu. Dari sana, berkembanglah ilmu.

 

Menurut Mohammad Hatta dalam Alam Pikiran Yunani, negara-kota (polis) Athena tumbuh pada masa antara pertengahan abad kelima sebelum Masehi (SM) hingga pertengahan abad keenam Masehi. Ketika itu, penduduk setempat makmur. Perniagaan, seni dan literatur mereka terbilang maju. Kemajuan itu terus berlangsung hingga zaman Romawi. Namun, sejak mistik masuk ke dalam filsafat, berakhirlah intelektualisme dan rasionalisme para cerdik cendekia mereka. Yang terjadi kemudian, irrasionalisme merajalela. Itulah mulanya kemunduran dinamika ilmu pengetahuan Yunani Kuno, yang terjadi bersamaan dengan redupnya Imperium Romawi secara keseluruhan.

 

Perluasan wilayah Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin pun berarti bangkitnya kembali studi atas pemikiran-pemikiran Yunani Kuno. Sebab, kaum terpelajar Muslim ketika itu dengan terbuka mempelajarinya. Dan, di antara mereka pun termasuk para fakih yang mengkaji syariat.

 

Menurut Said Aqil Siradj dalam Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi (2010), Imam Hanafi bersama dengan beberapa ulama sezamannya—semisal Imam Sufar, Abu Muhammad, dan Imam Abi Yusuf—adalah pemuka Islam yang pertama kali menerima nalar sebagai alat dalam memahami agama. Sang peletak dasar Mazhab Hanafi itu berpandangan, kebenaran haruslah dicari dengan nalar. Untuk mencapai kebenaran pun, logika diperlukan. Yang dipilih, diambil, lalu diolahnya sebagai alat dalam memahami kebenaran Islam ialah logika Arsitoteles—salah seorang filsuf Yunani Kuno. Sebab, pada zaman Abu Hanifah, pemikiran bangsa non-Arab itu mulai dikenal kaum Muslimin, seiring dengan meluasnya wilayah Islam di timur Mediterania.

Bait al-Hikmah akan selalu menjadi contoh penting tentang inklusivitas peradaban Islam pada masa keemasan.

Geliat aktivitas intelektual Muslimin, dalam hal interaksi dengan budaya-budaya non-Arab, kian mengemuka pada era Dinasti Abbasiyah. Baghdad, ibu kota kerajaan tersebut, menjadi pusat keilmuan dengan nuansa kosmopolitan yang kuat. Di Bait al-Hikmah, perpustakaan sekaligus madrasah utama setempat, para ilmuwan menerjemahkan banyak manuskrip dari budaya-budaya non-Arab, termasuk Yunani. Para penerjemah itu tidak hanya berasal dari kaum Muslimin, melainkan juga non-Muslim.

 

Bait al-Hikmah akan selalu menjadi contoh penting tentang inklusivitas peradaban Islam pada masa keemasan, yang bermula sejak awal abad ketujuh hingga medio abad ke-13 Masehi. Sebagai contoh, dalam sejarah lembaga tersebut, pernah ada seorang direkturnya yang merupakan seorang non-Muslim. Dialah Hunain bin Ishaq al-Ibad. Sejarah mengenang sarjana Kristen itu sebagai “sang syekh penerjemahan.” Sebab, reputasinya diakui luas dalam ilmu alih bahasa.

 

Dalam bekerja, Hunain selalu menerapkan mekanisme yang jelas. Misalnya, sang direktur Bait al-Hikmah menerjemahkan teks-teks dari bahasa Yunani ke Syiriac. Lantas, hasil terjemahannya itu diterjemahkan lagi oleh beberapa orang yang ditunjuknya. Penerjemahan-kedua itu berlangsung dari bahasa Syiriac ke bahasa tujuan akhir: Arab. Kemudian, sejumlah pustakawan ditugaskannya untuk memeriksa sekaligus mengoreksi hasil terjemahan-akhir.

 

Khalifah Abbasiyah yang mengangkatnya, al-Ma’mun, sangat menyukai berada di dalam perpustakaan pribadinya. Saat menyambangi Bait al-Hikmah, sang raja selalu memantau aktivitas para ilmuwan setempat. Buku-buku terjemahan yang mereka hasilkan kerap dibaca secara saksama. Nyaris tidak pernah tim Hunain mengecewakan dirinya. Begitu besar penghargaan terhadap ahli bahasa itu. Tercatat, Hunain merupakan satu-satunya penerjemah yang dibayar oleh pemerintah Abbasiyah dengan emas, yakni seberat naskah yang telah dialih-bahasakannya.

DOK  WIKIPEDIA

Kontribusi Islam: Filsafat Hingga Literasi

Salah satu adopsi kebudayaan Barat yang dilakukan peradaban Islam pada masa-masa awal berkaitan dengan filsafat. Disiplin itu berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran atau akal rasional. Oleh umat Islam, filsafat yang berakar dari pemikiran Yunani Kuno disesuaikan dengan nilai-nilai tauhid.

 

Filsafat menyelusup masuk. Lalu, mewujud menjadi magnet berdaya tarik besar. Kaum cendekia bergelut dan melontarkan gagasan filosofisnya, baik melalui kelompok-kelompok kajian maupun dalam berlembar-lembar risalah. Filsafat pun memperkaya perkembangan pemikiran dan peradaban Islam.

 

Philip K Hitti dalam bukunya, History of the Arabs, menyatakan, bagi orang Arab dan Muslim, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti sebenarnya sepanjang hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia. Secara khusus, nuansa filsafat umat Islam berakar pada tradisi filsafat Yunani.

 

Namun, pemikiran itu dimodifikasi dengan pemikiran penduduk wilayah taklukan serta pengaruh-pengaruh lainnya, yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Selanjutnya, diungkapkan dalam bahasa Arab. Prinsip filsafat terus digali hingga mengemuka kaitan dengan pemikiran filsuf Yunani yang juga lebih fenomenal ribuan tahun silam, Plato.

 

Melalui Plato, sebut Tamim Ansary dalam buku Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, cendekiawan Muslim menemukan seluruh perbendaharaan pemikiran Yunani. Perbendaharaan pemikiran itu, jelas dia,  mulai dari masa Socrates hingga Aristoteles.

 

Di sisi lain, sebagai Muslim, orang Arab yakin bahwa Alquran dan teologi Islam merupakan rangkuman dari hukum dan pengalaman agama. Terkait kajian filsafat ini, ujar Hitti, kontribusi orisinal umat Islam terletak di antara filsafat dan agama serta di antara filsafat dan bidang kajian praktis, yaitu kedokteran.

 

Perkembangan filsafat kian menggeliat saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Penguasa saat itu sangat menaruh perhatian terhadap ide dan pemikiran filsafat. Mereka mendorong para ilmuwan Muslim untuk menerjemahkan dan mempelajari karya-karya filsafat dari peradaban Yunani.

Munculnya industri kertas di negeri-negeri Muslim secara otomatis mendorong kemajuan literasi.

Ismail R Faruqi dan Lois Lamya al Faruqi melalui karyanya Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang menjelaskan, penerjemahan teks ilmiah dan filsafat Yunani kuno gencar dilakukan pada abad ke-8. Proses ini dibantu orang-orang Nasrani yang masuk Islam atau mereka yang mencari keuntungan dan kemakmuran dalam negara baru yang didirikan Islam di Timur Dekat. Ada tujuan lain yang muncul, yaitu untuk meredam gesekan pemikiran orang yang baru masuk Islam ataupun orang Nasrani yang kerap melontarkan argumen dalam pemikiran keagamaan dengan landasan filsafat Yunani.

 

Untuk menjawab argumen mereka secara memadai, kaum Muslim perlu mempelajari argumen filsafat pula. Kaum Muslim harus menemukan logika yang mendasari argumen tadi dan menggunakannya untuk menjawab penentangan mereka, papar kedua sejarawan ini.

 

Dari kalangan Muslimin, lahir tokoh-tokoh besar dalam bidang filsafat, antara lain al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Bagi mereka, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti sebenarnya, sejauh bisa dipahami oleh pikiran manusia. Al-Kindi yang lahir di Kuffah, Irak, pada 801 mendapat gelar sebagai filsuf bangsa Arab.

 

Sejarawan Philip K Hitti menyebutnya sebagai representasi pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia Timur yang murni keturunan Arab. Salah satu langkah al-Kindi dalam filsafat adalah menggabungkan konsep Plato dan Aristoteles. Ia tak hanya dikenal sebagai filsuf, tetapi juga astronom, ahli kimia, dan musik.

 

Tokoh lain yang berperan dalam perkembangan filsafat Islam, yakni al-Farabi. Dia melanjutkan proyek harmonisasi antara filsafat Yunani dengan Islam yang dimulai al- Kindi. Serupa dengan pendahulunya, sistem filsafat yang diusung al Farabi berpijak pada pemikiran Plato dan Aristoteles.

 

Peran Islam di literasi

 

Butuh waktu ratusan tahun lamanya sebelum teknologi pembuatan kertas merambah Eropa. Pada 1276, untuk pertama kalinya Barat—yakni wilayah Benua Biru yang dikuasai rezim non-Muslim—memiliki sebuah pabrik kertas. Pabrik itu didirikan di Fabriano, Italia. Berikutnya, pada 1390 pabrik kertas juga dibangun di Nuremberg, Jerman. Namun, geliat penggunaan kertas di negeri-negeri Kristen masa itu berlangsung agak lambat bila dibandingkan dengan dunia Islam. Sampai-sampai, pada masa itu suatu adagium cukup terkenal: “Papirus Mesir bagi orang-orang Barat (Eropa) adalah seperti kertas Samarkand bagi orang-orang Timur (Asia).”

DOK  WIKIPEDIA

Munculnya industri kertas di negeri-negeri Muslim secara otomatis mendorong kemajuan literasi masyarakat setempat. Tolok ukurnya, jumlah perpustakaan yang tumbuh subur di seantero kerajaan-kerajaan Islam.

 

Keadaan itu bahkan sudah terdeteksi 200 tahun sebelum pabrik kertas pertama di Fabriano atau pula Nuremberg. Ambil contoh, Bait al-Hikmah di Baghdad pada masa Sultan Harun al-Rasyid. Tak kurang dari satu juta buku—bukan perkamen atau papirus—ada di sana. Pada 891, seorang pengelana mencatat ada lebih dari 100 perpustakaan umum di Kota Seribu Satu Malam saja. Kota kecil semacam Najaf malahan punya rumah baca dengan koleksi 40 ribu buku.

 

Pada abad ke-10, Sultan al-Hakim dari Kordoba, Andalusia, punya koleksi pribadi sebanyak 400 ribu buku. Astronom Muslim asal Persia, Nashruddin alTusi (lahir 1201) punya 400 ribu buku. Sultan al-Aziz dari Dinasti Fatimiyyah punya 1,6 juta buku. Sebanyak 18 ribu di antaranya membahas tentang matematika dan filsafat.

 

Bandingkanlah angka-angka itu dengan kepemilikan buku Karel yang Agung (Charlemagne), yang wilayah kekuasaannya saat itu meliputi seluruh Prancis dan sebagian Italia. Roger Garaudy dalam Promesses de l'Islam mengatakan, tokoh bangsa Frankis itu “hanya” memiliki 900 buku. Dan, seluruh Eropa (Kristen) waktu itu menggelarinya sebagai “Penguasa yang Pandai.” Apalagi para raja Muslim yang memiliki jauh lebih banyak buku—bukankah lebih pandai jadinya?

 

Hedi Ben Aicha dalam artikelnya untuk The Journal of Library History, menggambarkan besarnya pengaruh literasi Islam di Benua Eropa pada abad pertengahan. Spanyol dan Sisilia (Italia Selatan kini) berturut-turut menjadi mercusuar peradaban berkat keberpihakan para penguasa Muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kosmopolitanisme.

 

Daulah Islam memberlakukan kebijakan yang penuh toleransi terhadap setiap kalangan non-Muslim. Alhasil, di Benua Biru cukup banyak intelektual Kristen yang tumbuh menjadi pencinta kebudayaan Arab. Alvaro, seorang penganut Kristen pada abad kesembilan, mengeluhkan banyaknya orang Kristen di Andalusia yang lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai orang Arab, alih-alih Eropa.

 

“Banyak rekanku sesama penganut agama (Kristen) yang membaca puisi dan cerita-cerita dari Arab, mempelajari agamanya (Nabi) Muhammad dan pemikir-pemikir (Muslim). Semua itu bukan untuk mengkritisi (Islam), melainkan mempelajari bagaimana mereka dapat mengekspresikan diri dengan lebih elegan lagi seturut dengan kebudayaan Arab. Maka, di mana lagi kita sekarang mendapati seseorang membaca teks-teks berbahasa Latin tentang kitab suci (Kristen)?” tulis Alvaro.

DOK  WIKIPEDIA

Penerbitan buku

 

Adanya kertas juga merangsang semakin banyaknya karya-karya diterbitkan. Industri penerbitan buku kian bergeliat. Ya, jauh sebelum Johannes Gutenberg memperkenalkan mesin cetak pada pertengahan abad ke-15, peradaban Islam era klasik sudah lebih dahulu memunculkan mekanisme penerbitan buku yang berbahan dasar kertas.

 

Johannes Pedersen dalam The Arabic Book (1984) menjabarkan, publikasi buku dalam peradaban Islam sepanjang abad pertengahan bermula dari masjid. Sebab, masjid berfungsi tak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sentra aktivitas intelektual, termasuk pengumuman naskah tulisan dan peluncuran buku.

 

Sebagai contoh, Pedersen menuturkan, pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah, penerbitan disebut sebagai kharrajah. Asal katanya ialah kharaja, yang berarti 'muncul'. Waktu itu, ada beberapa tahapan yang mesti dilalui seseorang bila hendak menerbitkan buku.

 

Pertama-tama, ia mesti merangkai berbagai catatan pendahuluan (muwaddah) terlebih dahulu. Muwaddah karyanya itu lantas dibawa ke masjid untuk diumumkan kepada khalayak ramai—biasanya bakda shalat berjamaah. Seusai menerima respons dari hadirin, si penulis akan menanyakan adakah warraq yang hadir di sana tertarik untuk menyalin naskahnya itu.

 

Warraq adalah sebutan bagi profesi penyalin naskah. Namun, tugasnya tidak hanya menyalin naskah yang disodorkan kepadanya, tetapi juga berburu tulisan dari para (calon) penulis. Ia juga menghubungkan antara pengarang dan publik pembaca. Profesi ini memiliki prestise tersendiri.

 

Ketika suatu muwaddah diumumkan di pelataran masjid, para warraq mesti menyimaknya. Ia pun akan menimbang-nimbang, apakah muwaddah itu memang layak diteruskan menjadi sebuah buku? Apakah nanti buku itu akan laku di pasaran?

 

Sesudah memastikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, seorang warraq lantas akan membuat perjanjian dengan si pengarang naskah. Dengan begitu, mereka mendapatkan lisensi untuk mencetak, menerbitkan, dan menjual buku karya pengarang tersebut.

 

Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam menuturkan beberapa contoh luar biasa kerja sama antara pengarang dan penyalin naskah dalam periode ini. Misalnya, pakar tata bahasa al-Bawardi (wafat 957 M) atau ahli tafsir al-Tabari (wafat 923 M). Keduanya mendiktekan 30 ribu halaman karangannya kepada sejumlah warraq.

 

Industri perbukuan pun diproteksi dengan pengakuan atas hak cipta (copyright). Sebab, tidak boleh ada penyalinan tanpa izin tertulis dari si pengarang yang bersangkutan. Salinan dari warraq yang bekerja sama dengannya pun harus dibubuhi ijazah yang memuat tanda tangan pengarang.

 

Menurut Abdul Hadi, proses memperoleh ijazah itu lumayan berliku-liku. Seorang warraq mesti membaca kembali naskah salinannya itu minimal tiga kali. Pengarang lalu memberikan komentar, koreksi, atau tambahan bilamana perlu. Hanya bila si pengarang sudah puas, barulah ijazah dapat diberikan sehingga si warraq boleh menerbitkan naskahnya dalam bentuk buku.

top

Interaksi Islam dengan Peradaban ‘Tua’